Suara derap kaki kuda yang berat terdengar sepanjang 1 km perjalanan dari Simpang Leles menuju ke Candi Cangkuang. Ukuran kudanya tidak terlalu besar untuk menarik beban 4 orang dalam 1 kereta kuda. Saya nggak setuju sebenarnya dengan praktek perdelmanan, alasannya cuma karena nggak berperikudaan, kasihan kudanya mas bro disuruh narik penumpang segitu banyak, belum lagi dipecut-pecut sama kusirnya, seperti pelaku sadomasochis! Sadis. Haik! Padahal bayar delmannya cuma Rp.10.000 dari Simpang Leles sampai ke pintu masuk Candi Cangkuang.

Saya agak bingung dengan candi Hindu dan candi Budha, menurut saya candi ya candi, mirip banget satu sama lainnya. Candi Cangkuang ini adalah satu-satunya Candi Hindu di wilayah Jawa Barat, letaknya tidak jauh sebelum memasuki Kabupaten Garut. Dinamakan Cangkuang karena candi ini bertempat di Desa Cangkuang, Cangkuang itu sendiri merupakan suatu jenis pohon pandan yang banyak terdapat disana.

Tiket masuk kawasan seharga Rp.3.000/orang sudah kami beli. Candi ini cukup menarik lho, karena terletak pada sebuah pulau kecil di tengah Situ Cangkuang. Situ itu artinya danau berukuran kecil. Untuk menyebrang dari pinggir situ ke Candi Cangkuang, tersedia banyak rakit bambu yang sudah dimodifikasi sehingga lebih nyaman bagi pengunjung. Satu rakit tersebut bisa muat hingga 20 puluh orang, tarif untuk menyebrang Rp.4.000/orang untuk perjalanan pulang pergi. Jangan harap ada pelampung yah di rakit ini, bawa sendiri aja kalo takut tenggelam.
Sejenak setelah seluruh penumpang naik ke atas rakit, dengan sigap pengemudi rakit menghujamkan batang bambu panjang ke dalam situ, sehingga mendorong rakit bergerak perlahan. Beberapa kali ia pindah posisi, hingga pada akhirnya rakit bisa berpindah posisi. Hebat juga, mendorong rakit penuh penumpang pikir saya.

“Nanti diingat ya, rakitnya No.14!”, teriak pengemudi rakit kepada seluruh penumpang. Artinya kami harus menaiki rakit yang sama saat kembali ke daratan.
Sebenarnya Candi Cangkuang sudah terlihat dari pinggir dermaga, namun pengunjung diharuskan memutar melewati beberapa warung penjual cenderamata dan makanan, dan juga melewati Kampung Pulo. Sebuah kampung kecil yang terdiri dari 6 buah rumah semi-panggung berbahan kayu, jumlah rumah di kampung ini haruslah 6 rumah, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.

Semua pintu pada 6 rumah tersebut tertutup rapat ketika saya melintasinya. Selain Candi Cangkuang, ada juga bangunan rumah sederhana sebagai Museum Candi Cangkuang, berisi informasi sederhana mengenai sejarah Candi Cangkuang dan sekitarnya. Tidak dipungut biaya untuk memasuki museum ini, hanya perlu melepas alas kaki di pintu masuk. Seperti masuk masjid deh.


Bangunan Candi Cangkuang tidaklah besar, jangan membayangkan bentuknya seperti Candi Borobudur ataupun Candi Prambanan, hanya ada 1 buah bangunan dengan tinggi sekitar 10 meter. Kecil bro. Ada tangga memasuki ke dalam candi yang buntu. Beberapa rombongan anak sekolah tengah bersantai dengan duduk di sekitar candi, menghalangi pandangan untuk mengambil foto. Ah rese, toyor nih.
Menurut saya, candi ini kurang menarik, saya pribadi lebih tertarik dengan Kampung Adat Pulo yang saya lewati sebelumnya. Namun, hal yang saya acungi jempol pada pengelola kawasan candi ini adalah saya tidak menemukan sampah berceceran di sekitar candi. Tempat sampah tersedia pada beberapa sudut di sepanjang jalan, jadi pengunjung tidak perlu repot membuang sampah sembarangan.

Seorang nenek berusia sudah cukup lanjut saya perhatikan duduk di depan rumahnya, memberanikan diri saya coba menyapa si nenek berbaju merah maroon ini. Mulutnya asik ngunyah sirih, bibirnya jadi merah merona, duileh si nenek.
Saya berinisiatif meminta fotonya, ia tidak menolak, namun berkata, “Sok aja lamun bade foto mah, masihan ka nini tapi jang” yang artinya ia meminta uang untuk di foto. Setelah mengiyakan, lalu saya asik mengambil foto dia, ia pun nampak tidak sungkan difoto, malah bisa berekspresi macam-macam. Saat selesai, saya menyerahkan selembar uang Rp.5.000 kepada beliau yang lantas ia lihat-lihat uangnya.
“Teu mahi atuh sakieu mah”, cetusnya.
“Sabaraha atuh, Bu?” tanya saya dalam bahasa Sunda belepotan.
“Yah sakirangna Rp.10.000 kitu”, duh ternyata ia sudah bisa menetapkan tarif untuk foto. Bisa aja deh si nenek nyari duitnya. Nenek matre..nenek matre..nyemplung ajee..

Rakit bernomor 14 ternyata tidak ada di tempatnya, saya perhatikan beberapa orang yang satu rakit bersama saya saat pergi ternyata tidak sudah tidak ada, namun ada beberapa orang juga yang bernasib sama. SIAKEEE..si abang rakit tipu-tipu, dia ninggalin kita donk. Rupanya beberapa orang dalam rombongan sebelumnya tidak mau berlama-lama menunggu kami, jadi mereka membayar lebih agar rakit bisa mengantar mereka lebih dulu. Kamfrett! Jadi kami bayar biaya ekstra untuk membawa kami kembali ke pintu masuk situ.

Selama perjalanan di atas rakit jangan kaget kalo ada pengamen yang mengamen dengan melompat dari satu rakit ke rakit lainnya. Lumayanlah hiburan..
hahaha si nenek matre pisan… lain daerah lain “kebiasaan” hehe
LikeLike
Sepertinya dia sudah sering jadi objek foto..jadi sudah biasa minta begitu
LikeLike
oh iyta gan saya mau tanya tentang sejarah candi nya
kenapa dinamakan dengan candi cangkuan ?
maaf cuma pingin tau buat pengetahuan saja
LikeLike
Karena di sekitar candi banyak pohon Cangkuang.
LikeLike
Pingback: Cangkuang Temple Is Surrounded By Hills And Lakes | travellparadise.com