Bangka : Ini Cerita Pulaunya, Bukan Cerita Martabak (2)

Ini hari ke-2 kunjungan singkat saya ke Pulau Bangka, Pantai Tanjung Kalian dan mercusuar-nya menjadi tujuan selanjutnya, menimbang jarak antara Bukit Menumbing dan Pantai Tanjung Kalian tidak terlalu jauh. Pantai ini nyatanya tidak sesuai dengan harapan saya, tapi satu hal yang menarik bagi saya di pantai ini adalah adanya mercusuar yang dibangun saat pendudukan Belanda tahun 1862 dan juga onggokan besi dari kapal yang sudah hancur milik Korps Perawat Angkatan Darat Australia sisa Perang Dunia II yang ditembak oleh Jepang. Kapal ini tidak lagi terlihat utuh, bahkan sudah hancur, hanya tersisa besi yang berkarat. Untung besinya nggak dikiloin nih :p.

Sisa Kapal Korps Perawat Angkatan Darat Australia di Pantai Tanjung Kalian
Sisa Kapal Korps Perawat Angkatan Darat Australia di Pantai Tanjung Kalian

Semula posisi kapal ini berada agak di tengah laut, namun ditarik hingga ke pinggir pantai, entah apa alasan yang mendasari hal ini. Penjelasan ini saya peroleh dari salah seorang ibu penjual otak-otak di pinggir pantai ini.

Highlight disini adalah mercusuar yang dibangun oleh Belanda tersebut. Kita bisa menaiki mercusuar dengan bayaran Rp.5.000/orang — ini bayaran tidak resmi yang diminta oleh penjaga mercusuar.. sigh!. Dengan menaiki 117 tangga di dalam ruangan sempit dan pengap karena minim cahaya dan udara kita akan sampai di puncak mercusuar. Namun saat di atas, pemandangan terlihat jauh lebih bagus, di sebelah Barat ada Pelabuhan Muntok, lalu di sebelah Timur ada hamparan pantai yang cukup panjang. Tidak mengecewakan pemandangannya!

Mercusuar yang dibangun pada tahun 1862
Mercusuar yang dibangun pada tahun 1862
Pelabuhan Muntok dilihat dari mercusuar
Pelabuhan Muntok dilihat dari mercusuar

Saat peristiwa tenggelamnya kapal Australia tersebut, ada beberapa orang warga negara Australia yang juga turut meninggal. Pemerintah Australia mendirikan monumen kecil tahun 1993 di pinggir pantai guna menghargai para korban, tertulis nama korban-korban yang meninggal saat peristiwa penembakan tersebut.

Monumen korban di Pantai Tanjung Kalian
Monumen korban di Pantai Tanjung Kalian

Di depan mercusuar, seorang ibu penjual otak-otak nampak asik membakar otak-otak pada panggangan, harganya cukup murah untuk otak-otak yang berbahan dasar ikan tenggiri ini, hanya Rp. 1.000/buah. Ada beberapa pilihan bumbu yang bisa dipilih sebagai padanan otak-otak, bukan hanya bumbu kacang. Total saya habiskan 17 buah otak-otak. Enak banget! Oh ya, otak-otak Belinyu memang sudah terkenal kelezatannya.

Ibu penjual otak-otak. Enak banget ini otak-otaknya!
Ibu penjual otak-otak. Enak banget ini otak-otaknya!

Pantai di Belinyu dan Sungailiat

Apalagi yang kurang pada kunjungan saya ke Pulau Bangka? Pantai, iya pantai yang indah. Tidak akan lengkap jika berkunjung ke Pulau Bangka dan melewatkan kemolekan pantainya yang aduhai.  Earphone Monster iSport terpasang di kuping saya, memainkan lagu Weezer – Island In The Sun, pas sekali liriknya dengan suasana saat itu.

On an island in the sun. We’ll be playing and having fun. And it makes me feel so fine I can’t control my brain.

We’ll run away together. We’ll spend some time forever. We’ll never feel bad anymore.

Tidak ada habisnya jika harus menyusuri pantai-pantai di Pulau Bangka, pantai di Bangka Utara saja banyak yang bagus, belum lagi ke Bangka Tengah. Jika kunjungan singkat seperti saya, bisa menyusuri pantai-pantai di daerah Belinyu hingga ke Sungailiat, itu pun bagus pantainya. Karakteristik pantai di Pulau Bangka persis dengan pantai-pantai di Pulau Belitung, tetangganya Pulau Bangka yang juga satu propinsi. Batuan granit besar dan bertumpuk-tumpuk bukan lagi pemandangan yang aneh di pantai Pulau Bangka.

Pantai Romodong merupakan yang pertama kali saya tuju, tidak sulit menuju pantai ini dari kota Pangkalpinang, ambil saja jalan lurus menuju ke Belinyu melewati Sungailiat, nanti saat sampai di Belinyu, tanya arah menuju Pantai Romodong dan Pantai Tanjung Penyusuk–kedua pantai ini letaknya tidak berjauhan, walaupun karakteristik pantainya sedikit berbeda. Jika dari jalan raya, Pantai Romodong akan dicapai lebih dulu, sepanjang jalan dapat dilihat bekas penambangan timah yang dibiarkan terbengkalai begitu saja. Membentuk danau-danau kecil berwarna kehijauan akibat campuran kaolin.

Danau bekas pertambangan timah
Danau bekas pertambangan timah

“Naaahh..itu dia batu yang menjadi pintu masuk ke Pantai Romodong”, teriak saya. Hal itu saya ketahui dari beberapa foto yang saya lihat mengenai pantai ini. Kami turun dari mobil untuk berfoto di depan pintu gerbang batu kembar–setidaknya begitu saya menyebut batu tersebut.

Batu kembar sebagai penanda gerbang masuk Pantai Romodong
Batu kembar sebagai penanda gerbang masuk Pantai Romodong

Keindahan pantai di depan saya mampu membius saya untuk segera mengambil sebanyak mungkin gambar dengan kamera.

Tidak ada ombak di Pantai Romodong, airnya sangat tenang berwarna hijau kebiruan, sejauh mata saya memandang ke Barat dan Timur hanya ada hamparan pasir putih yang bersih. Di sisi Barat pantai, ada beberapa tumpukan batuan granit yang mendekorasi pantai ini sehingga tidak tampak membosankan.  Saya menaiki bebatuan tersebut dan melihat pemandangan sekitar, keren..keren..keren!

Pantai Romodong... Clear blue sky!
Pantai Romodong… Clear blue sky!

Tidak banyak pengunjung yang ada, hanya ada 1 mobil berplat Z (Tasik, Garut, dan sekitarnya–jauh sekali ini mobil jalannya :p) yang diisi penuh hingga tampak berdesakan dan mobil kami tentunya.

Saya berlari ke sisi Timur pantai untuk mengabadikan foto-foto di batuan yang besar, air sedang surut hingga cukup jauh dari bibir pantai, terlihat pantainya sangat landai. Saya tidak bisa memberi penjelasan bagaimana caranya batuan ini hingga tersusun di pantai seperti ini, boleh ditanyakan ke Mas Google ya.

I was feel really small than those stones!
I felt small here…
Pantai Romodong dari sisi Barat
Pantai Romodong dari sisi Barat

Tidak jauh dari Pantai Romodong, 5 km lebih ke Utara ada Pantai Tanjung Penyusuk–juga terletak di Belinyu. Pantai ini lebih ramai dengan pengunjung dibandingkan Pantai Romodong, dengan dominasi batuan granit lebih banyak dan lebih padat komposisinya dibandingkan dengan yang di Pantai Romodong. Sementara di bagian lain pantainya ada hamparan pasir yang luas.

Batuan granit di Pantai Tanjung Penyusuk
Batuan granit di Pantai Tanjung Penyusuk

Beruntungnya saya kali itu, cuaca sangat cerah dan langit biru merekah, tidak mau menyia-nyiakan suasana seperti ini terlebih di kala musim penghujan, shutter kamera berulang kali saya tekan untuk menangkap setiap momen yang ada disana. Dengan lincah saya berpindah-pindah batu untuk mencari posisi yang paling bagus.

Pantai Tanjung Penyusuk..
Pantai Tanjung Penyusuk..

Terlihat di seberang Pantai Tanjung Penyusuk ada sebuah pulau kecil, yang juga dibilang sebagai Pulau Lampu, karena ada sebuah menara mercusuar di pulau tersebut. Pengunjung bisa memanfaatkan jasa ojek kapal untuk menyebrang ke pulau tersebut. Menurut informasi, di sekitar pulau tersebut merupakan spot snorkeling yang cukup bagus dan ada sebuah palung yang dalam. Really?

Pulau Lampu di kejauhan.. Nggak sempat kesana.
Pulau Lampu di kejauhan.. Nggak sempat kesana.

Sayangnya, saya tidak sempat untuk menyebrang ke Pulau Lampu, jadwal kepulangan pesawat saya tidak kurang dari 2,5 jam lagi dan saya masih ada pantai lain di Sungailiat yang akan saya kunjungi. Tarif menyebrangnya dengan kapal per orang membayar Rp.50.000, ini termasuk diantarkan ke spot snorkeling dan diantar kembali ke Pantai Tanjung Penyusuk.

Ojek ke Pulau Lampu
Ojek ke Pulau Lampu

Tidak seperti di Pantai Romodong yang sepi dari penjual makanan, di Pantai Tanjung Penyusuk ada beberapa warung penjual makanan ringan dan juga pengelolaan parkir kendaraan lebih rapi.

Mobil Toyota Avanza berpenumpang 6 orang yang berukuran besar-besar ini dipacu dengan kecepatan tinggi menuju Sungailiat, area pantai tujuan selanjutnya dalam agenda penyusuran pantai Belinyu hingga Sungailiat. Tidak kurang dari 1 jam, mobil sudah terparkir di pinggir Pantai Matras. Pantai dengan pasir lembut  dan merata, cocok untuk digunakan sebagai tempat voli pantai. Sampah menjadi gangguan utama di pantai ini, pasirnya tercemar oleh beberapa bekas bungkus makanan dan botol minuman. Ya, tidak mengherankan kondisi ini terjadi dimana pun di Indonesia. Terlebih di tempat wisata yang ramai. Poor!

Pantai Matras.. Enak buat guling-guling nih pasirnya :D
Pantai Matras.. Enak buat guling-guling nih pasirnya 😀

Sebenarnya melewatkan sunset disini sangat pas, tapi jadwal pesawat saya bertepatan dengan sunset. Mehh..! Masalah lain, Pantai Parai Tenggiri dengan  Parai Beach Resort yang juga menjadi resort kebanggaan Pulau Bangka juga ada di jadwal kunjungan saya.

Kawasan Pantai Parai ini dikelola dengan baik, deretan cottage tertata rapi. Memasuki Pantai Parai Tenggiri yang dimiliki oleh Parai Beach Resort tidaklah gratis bagi pengunjung yang tidak menginap disana. Setiap pengunjung dikenakan tarif Rp.20.000 untuk memasuki kawasan pantai cantik ini, harga tersebut sudah termasuk 1 buah minuman dalam kemasan yang bisa ditukarkan di restoran hotel ini.

Harga untuk menginap di Parai Beach Resort tahun 2013 lalu dibedakan untuk weekday dan weekend. Kamar paling rendah, Superior untuk weekday dihargai Rp.771.980 dan weekend Rp.915.725, kamar Deluxe untuk weekday Rp.968.000, sementara weekend Rp.1.171.280. Untuk kamar yang menghadap ke pantai, Deluxe Beach Front dihargai Rp. 1.197.900 untuk weekday, sementara weekend Rp.1.448.128. Nah..paling asik yaitu kamar Suite, harganya untuk weekday Rp.1.836.780 dan untuk weekend Rp.1.996.500. Berminat menginap disana? Bisa revervasi langsung di (0717) 94888.

Pantai Parai
Pantai Parai

Jika di Ayana Resort Bali ada Rock Bar, di Parai Beach Resort ini ada Rock Island, memang tidak se-spektakular seperti Rock Bar di Ayana, tapi Rock Island ini terletak di atas batuan granit besar. Diperlukan jembatan beton untuk menghubungkan hotel dengan Rock Island. Terbayang oleh saya suasana romantis di tempat ini, berjalan di jembatan yang dihiasi lampu kuning temaram hingga sampai ke Rock Island ini, lalu menikmati suasana malam ditemani hembusan angin dan segelas minuman dingin di Rock Island ini. Awesome!

Rock Island di Parai Beach Resort
Rock Island di Parai Beach Resort

In a Rush. Delay, Please…. Delay!

“Dif, ngebut Dif.. Kalo nggak gue bakal ketinggalan pesawat ke Palembang nih!”, seru saya panik ke sepupu saya, sepanik saat belum mendapatkan pasangan saat ditanya belum punya pasangan saat kumpul keluarga dulu..#eeeaa :))

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.20, sementara itu flight Sriwijaya Air yang saya tumpangi akan berangkat dari Bandara Dipati Amir  di Pulau Bangka ke Bandara Sultan Mahmud Badarudddin II di Palembang pukul 18.05. Jarak antara Sungailiat ke Pangkalpinang sekitar 30 km, memungkinkan jika dicapai dalam 40 menit dengan standar kecepatan tinggi. Tapi yang memberatkan, lalu lintas dari Sungailiat ke Pangkalpinang tidak bisa dibilang sepi, justru ramai sekali.

Saat keadaan genting seperti ini, cuma 1 yang saya harapkan : PESAWAT DELAY! Ya, baru kali ini saya memohon agar pesawat delay. Difa berulang kali menghubungi salah satu temannya yang bekerja di airport untuk memastikan status pesawat yang akan saya tumpangi. Apa mau dikata jika saya telat sampai airport, perjalanan pulang saya ke Palembang terpaksa harus menggunakan kapal jetfoil keesokan harinya.

Nampaknya, keberuntungan sedang memihak saya, pesawat Sriwijaya Air delay selama hampir 40 menit. Baru sekali itu saya merasa bersyukur sekali adanya delay dari penerbangan. So, I can come back home safe, safe from my Boss actually 😀

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s