Saya menilik ulang peta di hadapan saya, mencoba menegaskan dimana lokasi persis Pulau Wangi-Wangi ini. Pandangan saya tajam melihat 4 pulau besar yang pada peta tercantum nama Kepulauan Tukang Besi atau terkenal dengan Kepulauan Wakatobi. Pulau Wangi-Wangi adalah nama yang pertama terlihat jika melihat Kepulauan Wakatobi secara vertikal dari atas ke bawah. Mata lalu saya pindahkan ke 3 pulau besar yang berada setelah Pulau Wangi-Wangi, ada Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko. Haruskah menuju Pulau Wangi-Wangi jika tujuan saya adalah Pulau Tomia atau Pulau Binongko sekalian yang paling jauh?

#Pulau Wangi-Wangi
Kapal dari Bau-Bau merapat perlahan di Pelabuhan Wanci. Hmm… inikah pintu gerbang menuju Kepulauan Wakatobi yang mendunia itu, Pulau Wangi-Wangi. Belum selesai saya tersadar jika sudah berada di Pulau Wangi-Wangi, belasan pria mengenakan helm batok atau cetok yang hanya menempel di kepala tanpa tali pengait berebutan menaiki kapal kayu yang belum sepenuhnya bersandar di pelabuhan. Beberapa dari mereka dengan sengaja membangunkan paksa penumpang yang masih tertidur di matras nan tipis.
“Ojek..ojek?” begitu teriaknya dengan logat Sulawesi Tenggara yang kental. Rupanya mereka tukang ojek.
Beberapa tukang ojek telah mendapatkan penumpangnya, mereka lantas memberikan helm cetok yang menempel di kepalanya kepada penumpang tersebut, lalu menggiring mereka turun dari kapal dan menuju motornya. Seorang pria berumur sekitar 40 tahun belum mendapatkan penumpang, saya mendekatinya untuk meminta diantarkan ke Pelabuhan Mola. Pelabuhan Mola menjadi pelabuhan penghubung kapal-kapal kayu antar pulau di Kepulauan Wakatobi. Kapal yang diberangkatkan rute Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Khusus Pulau Binongko, jadwal kapal tidak setiap hari, pulau lainnya, kapal beroperasi setiap hari satu kali pada pagi hari.
Lima belas ribu tarif ojek yang dia tawarkan, tanpa menawar saya anggukkan kepala tanda setuju. Terkadang menawar itu baik, tapi ada kalanya memberi lebih terhadap warga lokal juga baik. Derungan sepeda motornya menjauhi kerumunan penumpang yang baru saja turun dari KM. Uki Raya.
Jangan bayangkan Pulau Wangi-Wangi ini adalah sebuah pulau kecil seperti gugusan pulau di Kepulauan Seribu, Pulau Wangi-Wangi luas banget, ada bandaranya segala kok. Fasilitas di pulau ini terbilang lengkap, bank dan ATM di Kepulauan Wakatobi adanya di pulau ini, yaitu Bank BNI dan Bank BRI. Jadi kalo berkunjung ke Wakatobi, ambil lah uang sebanyak-banyaknya (atau secukupnya deh) dari ATM kalian di Pulau Wangi-Wangi ini, karena tidak ada kesempatan lagi jika kekurangan uang di Pulau Kaledupa, Tomia apalagi di Binongko.
Walaupun Pulau Wangi-Wangi cukup padat penduduknya, tapi ada beberapa tempat menarik yang bisa dikunjungi di pulau ini lho. Jika mau diving di sekitar Pulau Wangi-Wangi bisa kok, ada Patuno Resort yang menyediakan berbagai paket diving. Trus kalo mau lihat air yang bening banget bisa ke Gua Air Tawar Mokale, kalo pengen lihat pemandangan bisa ke Puncak Waginopo, kalo pengen wisata sejarah bisa ke Benteng Liya di Toga, dan banyak lagi tempat menarik di Pulau Wangi-Wangi.

Benteng Liya asik buat dikunjungi lho, ya memang hanya sebuah benteng dengan ukuran 30 hektar yang dibangun dengan menumpuk batuan karang. Benteng Liya terdiri dari empat lapis dengan 12 Lawa (Pintu), 12 lawa tersebut merupakan pintu keluar yang digunakan masyarakat kerajaan untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Sampai sekarang masih ada perkampungan di dalam areal benteng ini. Benteng Liya dibangun 1538 M atau Abad ke 15, benteng ini menjadi benteng pertahanan yang dimiliki Kesultanan Buton, salah satu kerajaan maritim di Sulawesi Tenggara.


Di dalam kompleks Benteng Liya, ada Masjid Mubarok yang merupakan masjid tertua di Kabupaten Wakatobi, dibangun pada tahun 1546. Yang unik, masjid ini dibangun tanpa campuran semen, yaaa coba pikir deh tahun segitu apa udah ada Holcim, Tiga Roda, Semen Gresik, dan lain-lain disana :D. Pembangunan masjid ini menggunakan putih telur sebagai perekatnya, hebat lah idenya, kurang lebih seperti masjid di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau yang juga menggunakan putih telur sebagai perekat.
#Pelabuhan Mola
Sebuah gapura menyambut setiap pengunjung yang memasuki Kampung Mola, inilah kampung Suku Bajo atau yang terkenal sebagai sea-gypsy. Berbeda dengan kampung Suku Bajo lain yang biasanya berada tidak menyatu dengan daratan, di Kampung Mola, perumahan Suku Bajo menyatu dengan daratan, walaupun ada beberapa rumah yang juga berada di atas laut.

Menarik sekali mengamati kehidupan Suku Bajo di Kampung Mola, sebuah saluran kecil (lebih mirip selokan) yang menjadi akses bagi suku Bajo untuk pergi ke pasar. Dengan lincah Suku Bajo mendayung perahu kecilnya, mereka biasanya menyebutnya dengan TS. Walaupun banyak juga Suku Bajo yang sudah naik motor, namun perahu tetap menjadi kendaraan mereka. Istilahnya tidak mau meninggalkan identitas mereka sebagai sea-gypsy. Yang unik, perempuan dan anak-anak Suku Bajo ini melulurkan semacam bedak di mukanya, sepertinya untuk menahan panas dari sengatan sinar matahari.

Jika berkeliling ke dalam perkampungan Suku Bajo, ada beberapa tempat yang digunakan sebagai pembuatan perahu kayu Suku Bajo. Dengan perahu seukuran kecil ini mereka sanggup mengarungi lautan lho, ada cerita penduduk sekitar yang menyebutkan Suku Bajo naik perahu ini hingga ke Filiphina, Thailand dan beberapa wilayah lain di Asia Tenggara tanpa alat navigasi, seperti GPS, mereka hanya mengandalkan rasi bintang. Nah kalo lagi mendung gimana tuh ya, kan rasi bintang nggak kelihatan. Salut! Sayangnya dibalik keberanian dan kecanggihan Suku Bajo, mereka jorok banget..nget..nget, sampah itu dimana-mana, bahkan di depan rumah aja yang airnya bening banget mereka nyampah.

Selesai berkeliling perkampungan Suku Bajo di Mola, saya kembali ke dermaga. Mata saya berkeliling mengamati situasi di pelabuhan, ada dua buah kapal dengan tujuan Pulau Kaledupa yang akan berangkat. Beberapa kuli angkut atau porter bahasa kerennya mengangkat barang masuk ke dalam kapal, warga di Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko memang berbelanja keperluan di Pulau Wangi-Wangi. Melihat banyaknya barang yang dimasukkan ke kapal, agak jiper juga kapal kayu kecil gini bakal sanggup sampai Pulau Kaledupa. Ditambah ada penumpang pula yang bawa motor ke atas kapal (baca Wakatobi di Depan Mata).


Di perahu, saya mengambil duduk di bagian tengah, dengan harapan tidak terlalu pusing jika ombak nanti besar. Seorang bapak berumur duduk di sebelah saya, ia cukup berumur untuk melakukan perjalanan seorang diri, namanya Pak Abdullah. Perbincangan terjadi dengannya selama perjalanan menuju Pulau Kaledupa, ia penduduk asli Pulau Wangi-Wangi, namun belum pernah sekalipun ke Pulau Kaledupa yang hanya 2 jam jaraknya dari Pulau Wangi-Wangi. Kasihan banget sih Pak.
Bapak tersebut bersikukuh mengajak saya mengobrol, padahal suaranya kalah nyaring dengan deru mesin kapal. Saya pun berusaha mendengarkan obrolan Bapak paruh baya yang belakangan saya ketahui berprofesi sebagai guru di Pulau Wangi-Wangi ini. Entah kenapa ini Bapak tangannya ‘gatel’, selama obrolan tangannya maunya menempel di paha saya, namun berulang kali juga berusaha saya singkirkan tangannya. Hanjirrr macem-macem nih orang!!
~~~~Tulunggg
Catatan transportasi ke Pulau Wangi-Wangi
Pulau Wangi-Wangi bisa dicapai melalui beberapa alternatif. Alternatif pertama menggunakan pesawat dari Kendari yang ada 3 kali dalam seminggu, alternatif kedua menggunakan kapal dari Pulau Buton (Bau-Bau) dengan waktu tempuh 10-12 jam untuk kapal kayu, sedangkan kapal cepat Chantika Express hanya butuh waktu sekitar 3 jam, namun jika ombak besar kapal ini tidak beroperasi. Alternatif pertama tentunya yang lebih cepat, harga tiket pesawatnya sekitar 500 ribu rupiah (2014) dengan pesawat Wings Air jenis ATR. Jika melalui jalur laut, bisa ditempuh dari Kota Bau-Bau atau dari Kota Kendari. Kapal kayu dari Bau-bau biasanya berangkat jam 9 malam, lalu sampai di Pulau Wangi-Wangi pukul 7 pagi keesokan harinya. Sedangkan perjalanan kapal kayu dari Kendari membutuhkan waktu sekitar 14-16 jam. Bagi yang mabuk laut, sangat nggak disarankan naik kapal kayu ini. SENG-SA-RA!
Untuk penyebrangan antar pulau dimulai di Pulau Wangi-Wangi, bisa ke Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko. Jarak masing-masing pulau dengan pulau lainnya sekitar 2 jam saja, namun ke Binongko butuh waktu lebih lama. Tarif penyebrangan antar pulau sebesar Rp.50.000 (2014), jangan ditawar ya daripada dilempar ke laut nanti.